“Perkembangan Ekonomi Daerah
Dan Otonomi Daerah”
1.
Undang-undang otonomi
daerah
Dari
sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah telah
dihadirkan berbagai Peraturan Perundangan yang mengatur penyelengaraan mengenai
Pemerintahan Daerah antara lain:
1.
UU
No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan
pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan Pemerintahan
Pusat.
2.
UU
No. 22 tahun 1948. Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih
menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala
daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi
alat Pemerintah pusat.
3.
UU
No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat
dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga
masih alat Pemerintah pusat.
4.
Penetapan
Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih
menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh
Pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5.
UU
No. 18 tahun 1965. Kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi
dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan
dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.
6.
UU
No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi
kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
perbantuan.
7.
UU
No. 22 tahun 1999. Pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam
penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas,
nyata dan bertanggung jawab.
Seiring dengan perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, kebijakan tentang Pemerintahan Daerah
mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan dilatarbelakangi oleh
kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan
kesejahteraan masyarakat daerah. Otonomi daerah memberi keleluasaan kepada
daerah mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan
bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa
reformasi diberlakukannya UU no. 22 dan 29 tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Dengan berbagai macam perubahan dan kebutuhan, UU tersebut akhirnya direvisi
menjadi UU no. 32 dan 33 tahun 2004 Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk
mengatur segala urusan rumah tangganya masing-masing. Tuntutan bagi Pemerintah
daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan menjalankan roda
Pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan masing-masing
daerah.
2.
Perubahan penerimaan
daerah dan peranan pendapatan asli daerah
Memperhatikan
berbagai hasil kajian para ahli menunjukkan bahwa otonomi daerah selama ini
tergolong sangat kecil dilihat dari indikator kecilnya kewenangan, jumlah
bidang pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki daerah
(Hoessein, 2000 :3). Hal ini merupakan gambaran dari praktek pemerintahan masa
lalu yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dengan berpegang
pada Undang-undang tersebut, maka praktek yang terjadi di lapangan berupa
sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat, sehingga masyarakat di daerah tidak
memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan kepentingan dan
potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000 : 574).
Pada
masa sekarang ini dengan perubahan paradigma pemerintahan yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999, pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah
pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan
yang begitu luas tentunya akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi
daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah
bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan
yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000 : 5)
menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan
sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar
dalam sistem pemerintahan negara.
Isyarat
bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan
otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi
kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di
samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso
(1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari
daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat
membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total
penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu
pemerintah daerah.
Pendapatan
Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang memadai.
Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD) masih relatif rendah. Sebagaimana yang dialami Pemerintah Kota
Yogyakarta, selama kurun waktu tahun anggaran 1991/1992 – 2000 proporsi PAD
terhadap TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Proporsi sebesar ini sebenarnya
tidaklah terlalu kecil bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di seluruh
Indonesia. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Fisipol UGM
bekerjasama dengan Badan Litbang Depdagri menunjukkan bahwa selama 5 tahun
(1986/1987 – 1989/1990) sebagian besar Daerah Kabupaten/Kota atau sebanyak 173
Daerah Kabupaten/Kota (59,25 % dari seluruh Indonesia) mempunyai angka
prosentase PAD terhadap total penerimaan daerah di bawah 15 %.
Apabila
diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana sebenarnya letak kecilnya nilai
PAD suatu daerah. Untuk mengetahui hal ini perlu diketahui terlebih dahulu
unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD. Dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari :
1. hasil pajak daerah;
2. hasil retribusi daerah;
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya;
4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Menurut
Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD
antara lain adalah :
1. banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota
yang besar, tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak
kendaraan bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB);
2. badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum
banyak memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah;
3. kurangnya kesadaran masyarakat dalam
membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya;
4. adanya kebocoran-kebocoran;
5. biaya pungut yang masih tinggi;
6. banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan
dan disempurnakan;
7. kemampuan masyarakat untuk membayar pajak
yang masih rendah.
Menurut
Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama rendahnya PAD
sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat,adalah sebagai
berikut :
1. kurang berperannya Perusahaan Daerah
sebagai sumber pendapatan daerah;
2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang
perpajakan, karena semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak
langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat;
3. kendati pajak daerah cukup beragam,
ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;
4. alasan politis di mana banyak orang
khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong
terjadinya disintegrasi dan separatisme;
5. kelemahan dalam pemberian subsidi
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang
lebih kecil kepada Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.
Secara
umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah rendahnya PAD
disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh mengenai perpajakan
dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat Reksohadiprodjo (1996 : 74-78),
yaitu bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi sistem pajak di daerah secara
keseluruhan, di antaranya adalah adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda
antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan
dalam resources endowment, tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi.
Masalah lainnya adalah terlalu banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang
tindih satu dengan yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak
dengan pungutan lainnya, dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.
Pada
akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh besarnya PAD
atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa faktor lain yang
dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh
Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu :
1. faktor manusia;
2. faktor keuangan;
3. faktor peralatan;
4. faktor organisasi dan manajemen.
Salah
satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat
besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang
relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung
oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Propinsi). Padahal dalam
pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri.
3.
Pembangunan Ekonomi
Regional
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau kota.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses
dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin
Arsyad, 1999).
Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan
ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula
menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan
tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan
memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah
terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang
didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi
sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah).
Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang
berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan
kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi - institusi baru,
pembangunan indistri - industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja
yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan
baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah
mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk
masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah
daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif
pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi
masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus
mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan
membangun perekonomian daerah.
Pembangunan ekonomi nasional sejak PELITA I
memang telah memberi hasil positif bila dilihat pada tingkat makro. Tingkat
pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita mengalami peningkatan dari
hanya sekitar US$50 pada pertengahan dekade 1960-an menjadi lebih dari US$1.000
pada pertengahan dekade 1990-an. Namun dilihat pada tingkat meso dan mikro,
pembangunan selama masa pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu
kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income, distribution,
maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi atau pendapatan antar daerah atau
provinsi.
4.
Faktor-faktor penyebab
ketimpangan
Dalam
struktur ekonomi yang sehat, beban inflasi hampir merata menimpa seluruh
penduduk, meskipun secara teoritis penanggung terberat inflasi adalah mereka
yang berpendapatan tetap dan kaum penganggur (yang tidak memiliki pendapatan).
Namun,
akibat karakter inflasi di Indonesia seperti yang dideskripsikan di atas sangat
mungkin inflasi sekaligus menjadi sumber penyebab ketimpangan pendapatan yang
lebih besar. Singkatnya, sumber penyumbang inflasi terbesar adalah komoditas
pangan dan bahan makanan, padahal, sekitar 70-80% pendapatan orang miskin
digunakan untuk mengonsumsi pangan. Jadi, pendapatan mereka benar-benar
tergerus oleh karakter inflasi yang tidak ramah ini.
Berikutnya,
penikmat inflasi adalah kaum saudagar pangan (produsen kakap, distributor, importir,
dan lain-lain) yang memetik laba dari kenaikan harga komoditas tersebut. Petani
(gurem) tidak menerima keuntungan karena nasib mereka yang telah diatur oleh
pelaku di hilir itu.
Oleh
karena itu, jika tidak ditangani dengan saksama, inflasi kali ini juga akan
memperburuk tingkat kemerataan pendapatan, yang dalam beberapa tahun terakhir
ini memang telah kian menganga.
Namun,
yang mengherankan, dalam situasi seperti ini pemerintah (Departemen Pertanian)
akan memilih kebijakan ekspor beras karena sekarang sedang panen raya
(kelebihan produksi) dan insentif harga internasional yang sedang bagus
(tinggi). Kebijakan ini, sekali lagi, sulit dinalar karena kelebihan produksi
ini sifatnya hanya tentatif.
5. Pembangunan Indonesia bagian timur
Pembangunan di Indonesia Bagian Timur lebih
tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain. Mungkin penyebabnya tanah
yang lebih tidak subur dan masalah transportasi. Daerah yang agak tandus,
jalannya lebih cepat rusak, entah karena keadaan tanahnya atau karena suhu udaranya
yang lebih panas. Sehingga perjalanan memerlukan waktu tempuh yang lebih lama
dan medan yang berat. Dekat waduk/bendungan. Daerah yang sulit dijangkau karena
jalannya rusak atau jauh, lebih mudah terjangkau dengan adanya transportasi
air.
Keuntungannya:
- Proyek yang menarik dan mudah dijual karena akan mendapatkan hasil langsung berupa pohon/hasil hutan sepanjang yang akan dibuat jalan. Akan mendapatkan bahan galian yang bisa berupa bahan tambang yang bernilai tinggi (bisanya daerah tandus kaya akan bahan tambang bernilai tinggi dan batuan mulia/permata)dan atau bahan mineral.
- Peluang bisnis transportasi manusia dan barang (kalau tidak salah transportasi via air termasuk transportasi yang paling murah untuk angkutan barang).
- Bendungan bisa juga dibuat pembangkit listrik tenaga air.
- Bisa menjadi Objek wisata
- Di bendungan bisa dibuat budi daya ikan jaring terapung, sedangkan di jalan air bisa di buat budi daya ikan di keramba.
- Untuk saluran irigasi.
- Meningkatkan kesuburan tanah(biasanya daerah dekat aliran air, tanahnya menjadi lebih subur).
- Bisa juga dirancang untuk mengatasi banjir.
- Bisa juga dirancang untuk mengatasi kebakaran hutan (minimal melokalisasi kebakaran hutan yang terpotong jalan air).
- Transportasi manusia dan barang lebih mudah, murah dan lancar otomatis meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah itu dan antar pulau.
- Akan berkembang aktivitas-aktivitas ekonomi penunjang lainnya yang meningkatkan penghasilan dan menyerap lapangan pekerjaan.
- Mempermudah aparat keamanan untuk menjaga daerah-daerah yang sulit dijangkau lewat darat.
- Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas jalan air
- Debit banjir bila air meluap
- Pemeliharaan jalan air
- Masalah keselamatan pengguna jalan air.
6. Teori dan anlisis pembangunan ekonomi daerah
Pembangunan Ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sector swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 298).
Oleh
karena itu, bila prioritas pembangunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang
dimiliki oleh masing – masing daerah, maka sumber daya yang ada kurang dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan tersebut mengakibatkan relatif lambatnya
proses pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi dikatakan berjalan jika ditandai dengan adanya pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
Ekonomi Daerah Kuznets (1999) mendefinisikan pertumbuhan
ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk
menyediakan semakin banyak jenis barang – barang ekonomi kepada penduduknya,
kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan tekhnologi, penyesuaian kelembagaan
dan ideologis yang diperlukannya.
Dengan berdasarkan pada kenyataan bahwa pada
suatu daerah terbagi kedalam wilayah – wilayah dan sub – sub wilayah, maka
pertumbuhan daerah akan ditentukan oleh faktor – faktor utama yang antara lain
:
a. Sumber daya alam yang tersedia
b. Tersedianya modal bagi pengelolaan sumber daya alam
c. Adanya prasarana dan sarana (infrastruktur) yang menunjang, seperti transportasi,
komunikasi dan lain – lain.
d. Tersedianya tekhnologi yang tepat untuk pengelolaan sumber daya alam.
e. Tersedianya kualitas sumber daya manusia untuk pengelolaan tekhnologi.
b. Tersedianya modal bagi pengelolaan sumber daya alam
c. Adanya prasarana dan sarana (infrastruktur) yang menunjang, seperti transportasi,
komunikasi dan lain – lain.
d. Tersedianya tekhnologi yang tepat untuk pengelolaan sumber daya alam.
e. Tersedianya kualitas sumber daya manusia untuk pengelolaan tekhnologi.
Menurut Anwar (1996 : 17) teori yang menjelaskan
tentang pertumbuhan suatu daerah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Inward – Looking Theories
Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu daerah
diakibatkan oleh factor – factor ekonomi yang ada di daerah itu sendiri.
b. Output Oriented Theories
Teori ini menganggap bahwa adanya mekanisme yang mendasari fenomena
pertumbuhan daerah dari satu daerah kedaerah lainnya.
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar